Quiet Covering di Tempat Kerja Justru Bisa Jadi Boomerang

Fenomena Quiet Covering di Tempat Kerja

Penyesalan seorang Hanita yang baru-baru ini menjadi tempat pembuangan caci maki para netizen di media sosial, berawal bukan dari tumbler nya yang hilang di atas angkot, namun itu adalah wujud ledakan emosi karena sudah terlalu lama menjalani Quiet Covering  di tempat kerja. Quiet Covering  yang pada awalnya ia anggap sebagai strategi untuk menapaki tangga promosi jabatan. Kehilangan itu hanyalah sebuah ekspresi beban pikiran yang ia bawa dari tempat kerja.

Quiet Covering

Kehilangan itu hanyalah satu-satunya masalah yang ia bisa respon secara intrusive dibandingkan dengan harus menerima beban-beban pekerjaan yang sebenarnya ia tak mampu untuk sanggup mengerjakannya. Yah, mungkin memang lebih mudah untuk marah kepada orang yang terlihat  tidak membahayakan dan merugikan kehidupan. Namun marah kepada atasan dan pimpinan perusahaan yang memberikan beban kerja kepada kita, itu bisa menghancurkan reputasi dan karir di masa depan. Rasanya ingin marah sekali, tapi apa daya menolak pun ia tak sanggup.

Awal Mula Quiet Covering

Hanita menyadari, bahwa ia selama ini memang selalu melakukan Quiet Covering . Ia menutupi ketidakmampuan dalam beberapa tugas pekerjaan, mulai dari waktu yang kurang mencukupi, juga kompetensi untuk beberapa tugas. Ia selalu mengiyakan untuk setiap tugas yang diberikan. Strateginya adalah terima dulu tugasnya, meskipun belum pernah sama sekali mengerjakannya. Toh nanti juga bisa dipelajari lewat internet, atau bisa juga pakai AI. Ia pun tak pernah meminta bantuan ataupun bertanya mengenai tugas yang belum pernah ia kerjakan kepada teman ataupun atasannya. Semua itu dilakukan agar ia terlihat capable dalam setiap tugasnya. Dan jika ia mampu melakukan semua ini, reputasi dan integritas akan ia dapatkan. Harapannya adalah jabatannya bisa langsung dipromosikan, dan goal nya gaji besar akan ia pegang.

Namun ternyata, Quiet Covering  yang ia anggap sebagai strategi jitu itu, justru menjadi bumerang. Bukannya posisi jabatan yang bagus bisa ia duduki, karir yang selama ini ia jaga lenyap bak ditelan bumi. Dengan menutup-nutupi ketidakmampuannya, justru stres dan depresi yang ia dapat, hingga akhirnya meledak di tempat yang tidak seharusnya.

Sebab dan Tujuan Quiet Covering

Quiet Covering  memang lagi ngetrend terjadi akhir-akhir ini, dimana karyawan berusaha untuk menyembunyikan identitas atau aspek-aspek tertentu dalam dirinya. Hal ini bisa jadi dikarenakan karena budaya perusahaan yang tidak mengakomodir sisi kepribadiannya. Bisa juga karena tekanan dari perilaku rekan kerja yang mayoritas seragam dalam berperilaku dan bernilai moral. Tujuannya adalah untuk menghindari penilaian negatif, agar terlihat profesional dan bisa diandalkan, bisa diterima oleh banyak pihak, cepat mendapatkan promosi, ataupun demi menjaga kesehatan mental.

Quiet Covering  yang biasa Terjadi

Bukan hanya seperti Hanita yang selalu menutupi ketidakmampuannya dalam beberapa tugas ekstra. Ada juga yang menutupi kelebihannya demi menjaga kewarasan mental. Seperti Desmo yang memiliki beberapa skill sebagai karyawan. Dia menjabat sebagai staf marketing, namun dia ternyata mempunyai side hustle membuat desain grafis dan fotografi. Di perusahaan dia sengaja menutupi keahliannya ini agar tidak mendapat tugas tanpa kompensasi gaji tambahan. Dia sama sekali tidak peduli dengan promosi jabatan layaknya Hanita.

Cerita lain dari Xander yang notabennya adalah gen Z, sama seperti Hanita. Ia mempunyai hobi dan kebiasaan yang tidak dimiliki oleh rekan kerja lain yang mayoritas generasi milenial dan baby boomers, yaitu nge-vape dan nongkrong di kafe. Xander sebagai anak baru di perusahaan berusaha menutupi kebiasaannya karena peraturan perusahaan yang mewajibkan para karyawan untuk tidak merokok, termasuk nge-vape.

Berbeda dengan keduanya, Johap yang selama ini tidak pernah menjalankan ibadah sholat kesehariannya, kini ia harus memaksa diri untuk itu. Semua rekan kerjanya memiliki kebiasaan beribadah tepat waktu, dari tingkat direksi sampai tingkat bawah. Ia menutupi kebiasaan buruknya karena merasa malu jika tidak menjalankan ibadah seperti rekan-rekannya. Meskipun selepas kerja ia kembali ke kebiasaan lamanya. Semoga mendapatkan petunjuk.

Dampak Quiet Covering

Hari itu hujan mengguyur seisi kota dari pagi hingga menjelang malam. Hanita bangun kesiangan, tidak sempat memasak dan sarapan. Perutnya keroncongan, tapi waktu sudah beranjak siang meskipun matahari masih asyik bersembunyi di balik awan. Lantas ia hanya mengambil air putih dengan tumblernya. Berangkatlah Hanita ke tempat kerja tanpa sedikitpun makan. Sungguh sial, atasan sudah terlebih dahulu tiba sebelum Hanita sampai di meja kerjanya.

Gimana, sudah selesai? Tanya sang atasan. Sedikit lagi pak, jawab Hanita. Saya tunggu ya, hari ini akan ada rapat dengan komisaris, pinta atasannya. Baik pak, jawab Hanita lesu.

Setelah atasnnya pergi, Hanita terdiam membisu, lidahnya kelu, tangannya gemetar dan sendinya linu. Sejenak pikirannya kosong, suwung. Ia tahu, pekerjaan yang harus sudah selesai itu, belum sedikitpun ia sentuh. Diambilnya tumbler di sebelah tumpukan-tumpukan tugas yang menggunung itu. Diteguknya air dengan perlahan-lahan. Pikirannya kembali sadar, jiwanya kembali tenang.

Merasa Tertekan Di tempat Kerja

Mulailah ia mengambil tugas yang ia janjikan selesai itu. Dibolak-baliknya halaman demi halaman. Dan, bingung. Harus bagaimana ia harus mengerjakannya. Pekerjaan itu tidak mudah baginya, bukan bidangnya. Ia menyanggupi tugas itu dikala semua rekan kerjanya menolaknya. Ia optimis bisa, meskipun sama sekali tidak ia periksa terlebih dahulu. Karena ia yakin, inilah kesempatannya untuk bisa dipercaya dan diandalkan perusahaan.

Hingga waktunya tiba, atasannya datang dan menagihnya. Keadannya semrawut. Hanita hanya bisa berkilah dan berdalih. Tugas itu tak pernah selesai meski ia harus melewatkan jam makan siang. Ia hanya punya sepotong roti dan sebungkus biskuit untuk menjejal perutnya yang sedari pagi berontak. Juga air dalam tumbler nya yang ia ganti isinya menjadi kopi hangat, kopi Luku yang terkenal itu.

Hanita berdalih tugasnya belum selesai karena datanya tidak lengkap dan kurang valid. Atasannya tidak mau tahu karena sebentar lagi harus meeting, ia butuh data-data itu untuk dipaparkannya kepada direksi dan komisaris. Sementara Hanita terus berkilah, kemarahan atasannya membuncah. Dimaki-makinya si Hanita di meja kerjanya. Rekan-rekan sebelahnya terdiam menunduk ikut takut, dan juga merasa kesal dengan Hanita. Hampir setengah jam hingga waktunya pulang ia harus menunduk dan mendengarkan cacian atasannya yang merasa kesal itu. Hati Hanita menggondok, wajahnya memerah, hatinya menahan gejolak, dadanya  menyempit, dan diselimuti rasa takut.

Waktu pulang kerja telah tiba, dan hujan gerimis belum juga reda. Dada Hanita masih sesak dengan caci maki yang ia terima dari atasannya. Rekan-rekan kerja mencemooh dengan pandangan sinis nan merendahkan. Tak satupun yang datang menepuk pundaknya, hanya sekedar untuk mengurangi rasa nggondok dihatinya. Hanita merasa stres dan kurang percaya diri. Diteguknya kopi hangat dari tumblernya, lumayan bisa sedikit menjernihkan pikiran. Ia pun mengemas semua barangnya ke dalam tas, merapikan tempat kerjanya, menenteng tumbler kesayangannya, dan berjalan cepat sambil menunduk keluar ruangan.

Menumpuk Beban Pikiran dan Emosional Hingga Diluar Pekerjaan

Tak lama kemudian, ia segera mendapati angkot. Menuju arah pulang. Banyak pikiran, banyak beban emosi yang ia bawa. Pikirannya menerawang, tertuju pada setiap jalan yang tertinggal, kosong. Angkot penuh sesak, bau orang-orang beraneka ragam. Hanya aroma hujan yang sedikit menenangkan. Ketenangan yang mulai sirna, ketika obrolan ibu-ibu semakin keras saling membanggakan pencapaian anak-anaknya. Hanita membuka tumblernya, menyerutup kopinya, menghirup aromanya, lega. Hanya tumblernya lah yang hari ini ia rasa menjadi pahlawan, yang mampu mengerti, dan semakin ia sayang.

Hanita berpikir dalam, lantas sadar, Quiet Covering  yang selama ini ia lakukan bukanlah strategi yang baik. Ia tidak apa adanya. Ini hanyalah skill masking. Pembohongan yang membuatnya selalu merasa tertekan setiap berangkat kerja, terbawa serta hingga sampai rumah. Semakin dalam merenungi, Hanita semakin membenci dirinya, membenci pekerjannya, dan jengkel setengah mati kepada atasannya.

Tak terasa angkot telah menepi ke sebelah kiri jalan, pak sopir memberi tahu jika perjalanan telah sampai. Hanita segera turun dengan tergesa. Tak betah jika harus menyatu dengan ramainya dalam angkot dengan bau-bau yang membuat hidungnya gatal. Dibayarnya ongkos dengan uang pas, dan ia berlari kecil menuju sebuah ruko untuk berteduh, menunggu suami menjemputnya.

Hanita berdiri bersandar, menyeka wajahnya, dan mencari tumblernya. Inginnya ia serutup kopi itu untuk memecah kedinginan dibawah hujan rintik-rintik. Namun, tak ada. Dicarinya ke sekeliling, hampa. Tumbler itu tertinggal di angkot yang sudah pergi meninggalkannya seorang diri, sepi. Marah dan sedih hatinya. Dadanya yang sudah penuh sesak sedari pagi, tak mampu lagi menampung perasaan ini. Ingin marah, pada siapa? Ingin berteriak, lidahnya kelu. Hanya duduk, memegang kepala dengan kedua tangannya, bibirnya memonyong, kerudungnya berantakan.

Diambilnya ponsel dari tasnya, ia buka media sosial dan megeluarkan seluruh unek-enegnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top