Pengertian Toxic Positivity
Toxic positivity adalah fenomena psikologis yang merujuk pada sikap positif yang berlebihan, di mana individu merasa tertekan untuk selalu menunjukkan sikap optimis tanpa ruang bagi perasaan negatif. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku ini sering muncul dalam bentuk ungkapan-ungkapan seperti “Tetaplah positif,” atau “Hal-hal akan membaik”. Meskipun bertujuan untuk memberikan dukungan dan semangat, ungkapan tersebut sebenarnya dapat mengabaikan realitas emosional seseorang yang sedang menghadapi kesulitan.
Ketika seseorang berjuang dengan perasaan cemas, sedih, atau marah, respons yang menekankan pentingnya hanya berpikir positif dapat membuat individu tersebut merasa terisolasi atau bahkan tertekan. Dalam banyak kasus, toxic positivity muncul dari upaya baik niat orang lain untuk menghibur atau meningkatkan semangat. Tetapi bisa jadi tidak menyentuh akar permasalahan yang dihadapi. Ini dapat menyebabkan penderitaan tambahan. Di mana individu merasa harus menyembunyikan emosi asli mereka demi memenuhi harapan orang lain untuk bersikap positif. Sebagai hasilnya, mereka dapat mengalami penekanan emosi yang berbahaya yang akhirnya menghalangi proses penyembuhan yang diperlukan.
Persepsi tentang toxic positivity juga beragam. Beberapa orang mungkin tidak menyadari bahwa sikap ini berpotensi merugikan, sementara yang lain mungkin merasakannya sebagai beban tambahan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa perasaan negatif adalah bagian integral dari pengalaman manusia dan seharusnya tidak diabaikan. Mengakui perasaan ini dan mengizinkan diri untuk mengalaminya adalah langkah penting dalam proses penyembuhan dan pemulihan.

Ciri-Ciri Toxic Positivity
Toxic positivity merujuk pada sikap mengabaikan atau menutupi perasaan negatif dan fokus hanya pada hal-hal yang dianggap positif. Salah satu ciri utama dari toxic positivity adalah penggunaan ungkapan yang terlihat menyanjung. Namun pada kenyataannya dapat melemahkan atau merendahkan perasaan orang lain. Misalnya, orang sering mengucapkan kalimat seperti “Tetaplah positif!” atau “Segala sesuatu terjadi untuk alasan yang baik”. Meskipun niat di balik ungkapan tersebut mungkin baik, pernyataan semacam itu cenderung mengabaikan dan meremehkan perjuangan atau kesedihan yang mungkin dialami oleh individu yang mendengarnya.
Ciri-ciri lain dari toxic positivity dapat terwujud dalam perilaku menghindari perasaan negatif. Ketika seseorang mengalami kehilangan, kemarahan, atau kekecewaan, sikap yang merendahkan perasaan tersebut seperti “Kamu harusnya bersyukur!” hanya akan memperparah keadaan. Pendekatan ini tidak hanya menghalangi orang untuk mengekspresikan perasaannya. Tetapi juga bisa membuat mereka merasa terasing atau dipaksa menyembunyikan emosi mereka.
Dalam komunikasi sehari-hari, toxic positivity dapat terlihat dalam situasi di mana seseorang mencoba memberi dukungan namun malah mengabaikan perasaan mendalam yang dialami oleh orang lain. Misalnya, ungkapan “Cobalah untuk tersenyum” atau “Semua akan baik-baik saja” mungkin terdengar positif. Tetapi bisa jadi menyakitkan ketika seseorang sedang berjuang menghadapi situasi sulit. Dengan mengenali ciri-ciri ini, kita dapat lebih peka terhadap bagaimana kata-kata dan sikap kita dapat mempengaruhi orang lain di sekitar kita. Serta berusaha untuk membangun komunikasi yang lebih empatik dan autentik.
Dampak Negatif
Toxic positivity, meski terlihat sebagai suatu pendekatan yang mempromosikan pemikiran positif, dapat membawa sejumlah dampak negatif baik bagi individu yang merasakannya maupun bagi hubungan antarpersonal. Salah satu konsekuensi yang paling signifikan adalah isolasi emosional. Ketika seseorang merasa tertekan atau sedih. Tetapi terus-menerus didorong untuk ‘tetap positif’, mereka mungkin merasa tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan perasaan yang lebih kompleks. Hal ini dapat menyebabkan mereka menarik diri dari interaksi sosial, merasa terasing dan tidak dipahami oleh orang-orang di sekitar mereka.
Selanjutnya, toxic positivity menghalangi komunikasi yang jujur. Ketika individu merasa diharuskan untuk menyembunyikan perasaan negatifnya karena takut akan dihakimi atau dianggap lemah. Mereka cenderung tidak berbagi pikiran dan perasaan mereka yang sebenarnya. Komunikasi yang terbuka dan jujur adalah pilar utama dari hubungan yang sehat; tanpa itu, hubungan dapat terganggu, menyebabkan jarak emosional yang lebih besar. Komunikasi yang tidak jujur dalam konteks ini menciptakan permukaan yang terlihat baik, tetapi di dalamnya terdapat ketegangan yang tidak diungkapkan.
Akhirnya, toxic positivity dapat memperburuk masalah kesehatan mental. Ketika individu merasa dibebani oleh ekspektasi untuk selalu merasa positif, mereka mungkin mengalami rasa bersalah atau malu ketika mengalami perasaan negatif. Ini bisa menciptakan siklus yang merugikan, di mana mereka merasa tidak mampu mengatasi masalah mereka, justru karena tekanan untuk tidak mengakui perasaan tersebut. Akibatnya, kesehatan mental mereka bisa terganggu, dan perasaan tersebut dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius jika tidak ditangani dengan baik. Memahami dan mengakui adanya dampak negative ini sangat penting dalam membangun lingkungan yang lebih mendukung dan empatik.
Cara Mengenali dan Menghindari Toxic Positivity
Toxic positivity adalah sikap yang berupaya menjaga pandangan optimis dengan mengabaikan perasaan negatif yang mungkin dirasakan oleh individu. Untuk mengenali fenomena ini, penting untuk memperhatikan bagaimana kita atau orang di sekitar kita merespons perasaan yang kurang menyenangkan. Salah satu ciri utama toxic positivity adalah menanggapi ungkapan kekecewaan, kesedihan, atau kemarahan dengan komentar seperti “Cobalah untuk berpikir positif” atau “Segala sesuatu akan baik-baik saja.” Respons semacam ini tidak hanya meremehkan perasaan yang valid, tetapi juga dapat membuat individu merasa tertekan atau terisolasi.
Agar terhindar dari toxic positivity, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran diri. Cobalah untuk mengevaluasi bagaimana Anda merespons perasaan negatif, baik dalam diri sendiri maupun orang lain. Jika Anda mendapati diri Anda berusaha keras untuk mengalihkan perhatian dari perasaan tersebut, pertimbangkan untuk membiarkan diri merasakannya tanpa penilaian. Penerimaan terhadap emosi negatif adalah langkah penting dalam pemulihan emosional, dan penting untuk diingat bahwa merasakan berbagai emosi adalah bagian normal dari kehidupan.
Selanjutnya, penting untuk menciptakan ruang aman untuk komunikasi yang jujur. Dorong diri sendiri dan orang di sekitar Anda untuk berbicara tentang perasaan mereka dengan terbuka. Saling mendengarkan dan berempati terhadap kondisi satu sama lain sangat penting untuk menciptakan suasana yang mendukung. Hal ini akan membantu individu merasa lebih nyaman mengekspresikan diri tanpa rasa takut dihakimi atau diabaikan.
Untuk menciptakan lingkungan yang sehat, praktikkan afirmasi positif yang realistis. Alih-alih menghancurkan emosi negatif, dukung diri sendiri dan orang lain untuk mengenali dan menghargai semua perasaan, baik yang positif maupun negatif. Dengan cara ini, Anda berkontribusi pada kesejahteraan emosional secara keseluruhan tanpa jatuh ke dalam jebakan toxic positivity.