Bahaya Riya, Sikap Pamer yang Bisa Membakar Habis Amal

Jenis-jenis dan Bahaya Riya (Pamer)

Riya adalah perasaan ingin dilihat orang lain atas semua perbuatan yang ia lakukan. Masyarakat kita menyebutnya dengan pamer. Riya’ termasuk penyakit hati yang harus segera diobati. Kalo tidak, seluruh hidupnya hanya akan penuh dengan penyesalan dan kesedihan sebab ia terus menerus berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang lain untuk mendapatkan kekaguman atas dirinya.

Orang riya ingin memperlihatkan bahwa dia menjadi orang yang lebih beruntung dibandingkan orang lain. Entah itu dengan melakukan hal-hal yang hebat, kelebihan atas harta, fisik, ilmu, ketaatan dalam beribadah. Atau bahkan ia dan segala hal yang bisa membuat orang lain berkata “Wahh, betapa hebatnya kamu. Betapa beruntungnya menjadi kamu. Aku sungguh iri denganmu”. Kata-kata itulah yang di inginkan oleh orang yang riya’, kekaguman dari orang lain.

apa yang dimaksud riya

Jenis-jenis Riya

Semua jenis riya’ bertujuan untuk mendapatkan rasa kagum dari orang lain serta pengakuan bahwa ia adalah orang yang lebih beruntung karena mempunyai kelebihan dalam bidang yang ia perlihatkan. Intinya semua riya itu hanya untuk mencari kekaguman, kedudukan, dan penghormatan dari manusia, baik dengan cara amalan agama ataupun dunia. Berikut jenis pamer menurut bentuk cara memperlihatkan kelebihannya:

Riya’ dengan Anggota Badan

Bentuknya dengan menampakkan badan yang kurus, wajah sayu sebagai tanda rajin sholat malam, rambut acak-acakan tidak terurus, mata ckung bibir pucat nampak sebagai ciri orang berpuasa. Semua itu dilakukan agar orang lain melihat bahwa dia hanya selalu memikirkan akhirat. Riya’ jenis ini biasanya terjangkit bagi orang-orang yang taat kepada agamanya namun orientasinya adalah untuk mendapatkan kekaguman dari manusia melalui amalan agama.

Sedangkan bagi orang yang ingin memperlihatkan kelebihannya dengan hal yang bersifat duniawi, biasanya mereka memperlihatkan badan yang gemuk sebagai tanda makmur sejahtera, badan yang bersih mulus agar nampak sebagai orang yang mampu membiayai perawatan diri.

jenis-jenis riya

Riya‘ dengan Pakaian dan Penampilan

Seperti berjalan dengan menundukkan kepala supaya orang tahu bahwa ia adalah orang yang tawadhu’. Membiarkan bekas sujud pada kepala yang menghitam supaya orang tahu ia rajin sholat. Memakai kain kusut untuk menandakan bahwa ia tak lagi memikirkan dunia. Memakai pakaian tambalan supaya terlihat zuhud dengan dunia.

Orang yang riya’ dengan penampilan mempunyai beberapa motif. Biasanya mereka berpakaian seperti itu agar diterima di kalangan orang-orang sholih dengan menampakkan kezuhudan. Padahal seharusnya, pakaian orang sholih itu pertengahan dan umum di masyarakat yang bersih dan rapi.

Sedangkan bagi orang-orang yang berorientasi pada duniawi mereka berharap supaya diterima oleh orang-orang baik, para penguasa, dan orang-orang kaya dengan berpakaian yang bagus dan mahal, kendaraan dan perhiasan mewah. Padahal jika berada dalam rumah ia hanya berpakaian sekedarnya saja.

Riya’ dengan Ucapan

Melalui nasihat, peringatan, memperlihatkan kedalaman ilmunya saat berdiskusi dengan bahasa yang sulit di pahami,  menghafal hadis dan riwayat untuk pamer. Sibuk berdzikir saat berada bersama banyak orang, menampakkan kemarahan ketika terjadi kejahatan dan kemungkaran, menghafalkan syair yang indah. Semua itu dilakukan ketika ada banyak orang yang melihat hanya untuk menunjukkan bahwa ia ahli dan peduli dalam urusan agama.

Sedangkan bagi orang yang orientasinya duniawi, mereka pamer dengan suara yang indah, membagus-baguskan suaranya ketika bicara, menggunakan bahasa kekinian agar nampak sebagai orang yang selalu update, atau berbicara dengan memaksakan diri memakai syair agar terasa sebagai orang yang paling seni.

Riya’ dengan Amal Perbuatan

Memanjangkan bacaan dalam posisi berdiri ketika sholat, memperlama ruku dan sujud, untuk menampakkan kekhusukan. Memperbanyak infaq dan sedekah saat orang lain melihat. Sedangkan bagi orang yang orintasinya duniawai biasanya terlihat dengan cara berjalan penuh lagak dan gaya, membusungkan dada, hanya untuk menampakkan penampilannya yang oke.

Riya’ dengan Circle Pertemanan

Biasanya mereka ini pamer dengan banyaknya teman sholih yang ia punya. Memamerkan kedatangan ulama yang pernah mengunjunginya. Pamer dengan banyaknya guru yang sudah ia timba ilmunya untuk mencari kedudukan di hati para ahli ibadah dan ulama.

Sedangkan orang yang orientasinya dunia mereka pamer dengan circle pertemanan yang mereka miliki, berfoto dengan tokoh terkenal sebagai bukti bahwa ia pernah bertemu dengan orang-orang penting. Maka sudah sepatutnya ia ingin agar orang lain melihatnya dengan kekaguman.

Hukum Riya’

Ada orang yang sholat namun celaka, diantara sebabnya adalah pamer dengan sholat yang ia kerjakan. Jangan pamerkan kepada manusia ibadah yang hanya untuk Allah. Ibadah yang hanya untuk pamer, maka Allah berlepas diri darinya. Karena ibadah itu untuk orang yang dipamerinya. Riya agar orang menjadi kagum.

Tidak ada balasan di akhirat bagi orang yang pamer ibadahnya, karena ia mencari dunia berupa kekaguman dari manusia. Mencari dunia dengan kemaksiatan itu tercela, namun mencari dunia dengan amalan ibadah jauh lebih tercela.

Rincian Hukum

Bagaimana hukumnya? Apakah haram, makruh, ataukah mubah? Tentu harus ada perincian terlebih dahulu. Riya’ dalam masalah ibadah hukumnya haram. Sebab inti dari riya’ adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan kekaguman dari orang lain. Padahal seharusnya niat ibadah adalah untuk mndapatkan ridho Allah bukan ridho manusia.

Sedangkan riya’ dengan selain ibadah hukumnya seperti hukum mencari, bisa haram bisa tidak, namun hukum dasarnya tidak haram. Orang yang riya dalam harta, penampilan, kendaraan dan lainnya bertujuan untuk mencari hati dan penghormatan orang lain agar disukai. Mencari kedudukan di hati manusia hukum dasarnya tidak haram. Sebagaimana orang dalam mencari harta yaitu seperlunya saja adalah hal yang terpuji. Begitu juga dengan mencari hati manusia harus dilakukan dengan sewajarnya.

Sekedar agar tidak dihina, direndahkan, merupakan mempunyai kedudukan di hati manusia dengan kadar yang sedikit (hal terpuji), bahkan dianjurkan. Menjadi orang yang sangat di hormati, terpandang dengan hal-hal yang bersifat duniawi, harta jabatan, hukumnya boleh asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang misalnya sombong dan berbangga diri.

Menjadi orang yang sangat dihormati, bukan karena rakus mencarinya dan tidak sedih jika hilang, maka hal itu tidak mengapa, tidak membahayakan agamanya. Hukumnya makruh jika terlalu terobsesi mencari penghormatan orang lain. Bisa merusak agama, namun tidak sampai haram.

Namun ada juga orang yang ingin memperlihatkan nikmat Allah yang terlimpah padanya, demikian juga memperbagus semua penampilan bukanlah hal yang terlarang. Mayoritas orang tidak ingin terlihat jelek dan buruk , itu bukanlah niat yang terlarang.

Hanya saja jangan sombong. Karna tidak akan masuk surga orang yang didalamnya terdapat setitik kesombongan. Sesungguhnya Allah itu zat yang indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu mengabaikan kebenaran dan meremehkan manusia. Pakaian bagus rapi wangi dengan niat mengamalkan hadist ini maka itu hal yang terpuji.

Tingkatan Riya’

Segala penilaian sudah pasti ada tingkatannya. Begitupun dengan pintu riya’ ada yang lebih buruk dari sebagian yang lain.

Tingkatan riya’ paling buruk ; dalam perbutannya sama sekali tidak ada niat untuk mencari pahala keridhoan Allah dan hanya sekedar ingin dilihat oleh orang lain saja. Misal sholat hanya ketika berada dalam posisi yang semua orang harus sholat, sedangkan ia malu jika sendirian tidak sholat.

Tingkatan kedua yaitu niat ingin mencari pahala namun sedikit porsinya. Lebih banyak ingin dilihat orang. Dengan indikasi seandainya ia sendirian maka ia tidak sholat. Bahkan berbohong ketika di tanya sudah sholat atau belum.

Tingkatan ketiga yaitu antara niat ingin mencari pahala dan pamer kadarnya setara. Seandainya ingin dilihat orang saja atau ingin mencari pahala saja, ia tidak tergerak untuk melakukan amal. Semisal merusak apa yang tlah ia perbaiki.

Tingkatan keempat yaitu menjadikan pandangan orang hanya sebagai penambah semangat dalam beramal, namun motivasi utamanya adalah mencari pahala dan keridhoan Allah. Seandainya tidak ada orang yang melihatnya, ia tetap beribadah. Dan ketika ada orang yang melihatnya maka ia memperbagus dan tambah semangat dalam beramal.

Riya yang Samar dan Tersembunyi

Riya yang Samar dan Tersembunyi

Terdapat riya yang nampak jelas, itulah riya yang mendorongnya untuk beramal dan  beribadah. Dan yang samar tersembunyi adalah riya’ yang tidak menjadi faktor penggerak amal perbuatan, namun menjadikan ringan suatu amal yang ia kerjakan untuk Allah. Misalnya sholat tahajud terasa berat namun ketika ada tamu yang menginap, sholat tahajud menjadi lebih ringan. Ketika puasa sendirian terasa berat, namun jika ada banyak orang yang puasa, maka menjadi lebih ringan godaannya.

Ingin di lihat orang, tidak menjadi faktor pendorong utama atau ringannya dalam beramal, namun rasa ingin dilihat orang ini tersembunyi dalam hatinya. Inidkasinya adalah senang ketika orang melihat ketaatannya. Rasa senang tersebut menghilangkan rasa beratnya beribadah, seperti ada bara dalam batu. Riya tersembunyi dalam hati tersebut terlihat ketika ada rasa senang saat terlihat oleh orang. Sifat ini membangkitkan untuk menampakkan amalnya dengan bahasa yang jelas maupun dengan metafor.

Riya’ yang lebih tersembunyi lagi adalah orang tidak ingin melihat amalnya bahkan ia beramal dengan sembunyi-sembunyi. Namun ia merasa bahwa ia adalah orang yang taat dan ahli ibadah sehingga ia layak untuk dihormati orang lain dan disambut dengan penuh senyuman dan penuh hormat. Ia ingin agar orang longgar ketika bertransaksi dengannya. Ia ingin orang memberi tempat duduk istimewa sebab ketaatan dan ibadahnya. Seakan-akan ia menuntut perlakuan istimewa dari manusia dikarenakan ia telah mlakukan amal yang sembunyi-sembunyi. Jika orang tidak melakukan sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ada rasa yang mengganjal dalam hatinya.

Orang yang ikhlas tanpa pamrih senantiasa takut terhadap riya’ yang tersembunyi yaitu yang berusaha mengecoh orang-orang dengan amal sholihnya. Orang ikhlas menyembunyikan amal baiknya serapat menyembunyikan amal buruknya. Semua itu di lakukan karna mengharapkan pahala dari Allah pada hari kiamat nanti.

Disangka Riya’ Padahal Bukan

Merasa gembira ketika dilihat orang saat melakukan ketaatan. Jika niatnya menyembunyikan amalan dan ikhlas, ketika ada orang yang melihatnya ia merasa senang bukan karena mendapatkan kedudukan di hati manusia, namun karena Allah telah menampakkan amal yang indah yang telah ia lakukan dan menutupi keburukannya. Keadaan seperti ini termasuk dalam hal yang terpuji.

Namun jika rasa senang itu datang karena memproleh kedudukan dari manusia sehingga orang hormat dan patuh serta memenuhi kebutuhan dan keinginannya, hal ini dimakruhkan dan tercela. Intinya jika ia menginginkan kekaguman dari orang lain karena mengetahui kebaikan dan memuliakannya, berarti itu riya’.

Riya yang membatalkan dan tidak membatalkan amal

Ada beberapa kemungkinan bisa jadi perasaan ingin di lihat itu sebelum, pada saat, ataupun setelah ia mengerjakan amal.

Jika muncul ketika sudah selesai ibadah, dia merasa senang tanpa bermaksud menampakkan amalannya, maka rasa itu tidak menggugurkan amalnya. Pujian muncul setelah selesai amal, maka tidak membatalkan. Tidak memaksa diri menonjolkan dan menceritakan amalnya. Namun jika ia menceritakan setelah menyelesaikan amalnya, maka dikhawatirkan ada unsur riya. Meskipun hanya sekedar cerita tanpa ada unsur riya, hal ini bisa bisa mengurangi pahala

Jika riya muncul berbarengan dengan amal atau pada saat beramal, sekedar rasa senang  tidak berpengaruh pada amal. Namun jika rasa ingin di lihat orang menjadi faktor utama penggeraknya, seperti memanjangkan rakaat ketika sholat, maka hal ini menggugurkan amalnya.

Riya’ yang muncul untuk mengawali ibadah, berniat memang untuk riya, maka amal itu dianggap tidak ada sekalipun dia telah menyelesaikan amalnya dan menyesalinya. Sebab yang menjadi tolak ukur dari semua perbuatan adalah niat awalnya.

Itulah bahasan seputar riya’ yang bersumber dari kitab Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah al-Maqdisy. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top